Banner Maintenance Blog

Banner Wedding Organizer V-lo

Banner Undangan Wedding

Masalah Gizi Masih Menghantui Anak

detail berita
(Foto: gettyimages)
PROBLEMA gizi pada anak-anak Indonesia masih mengkhawatirkan. Bila tidak segera diatasi, dalam jangka panjang akan mengakibatkan hilangnya potensi generasi muda yang cerdas dan berkualitas.

Anggapan bahwa ”anak gemuk adalah anak yang sehat” merupakan stereotip yang telah dibangun sejak lama oleh orang tua zaman dulu. Sayangnya, hal itu masih diyakini oleh banyak masyarakat modern saat ini. Hal tersebut menyebabkan orangtua sekarang lebih mengutamakan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh anaknya, dibandingkan kualitas gizi yang terkandung di dalamnya.

Menjamurnya tempat-tempat makanan yang menyajikan makanan dan minuman instan padat kalori yang mengandung penyedap rasa, pewarna, dan gula yang berlebihan menyebabkan anak-anak lebih menyukai jenis makanan ini dibandingkan makanan bergizi. Akibatnya, anak menjadi kelebihan berat badan atau obesitas. Masalah obesitas ini umumnya dialami anak di daerah perkotaan dengan status ekonomi menengah ke atas.

Berbeda dengan masalah kelebihan gizi, spesialis gizi klinis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Samuel Oetoro MS SpGK menyebutkan, ada tiga faktor yang menyebabkan kurang gizi pada anak. Ketiga faktor tersebut, yaitu ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan ketidakmauan dari orangtua yang biasanya dialami oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.

Ketidaktahuan terjadi akibat minimnya pengetahuan orangtua dan kurangnya akses informasi yang memadai mengenai panduan makanan bergizi. Sementara ketidakmampuan terjadi karena faktor ekonomi keluarga yang pas-pasan sehingga tidak mampu membeli makanan bergizi. Adapun ketidakmauan terjadi akibat kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya memberikan asupan makanan bergizi pada anak.

”Pada kasus ini, orangtua sebetulnya memiliki uang untuk membeli makanan bergizi, namun tidak dilakukan dan lebih memilih membeli barang rumah tangga lainnya atau membebaskan anak membeli makanan yang mereka sukai,” ujar dia saat berkunjung ke salah satu lokasi survei Southeast Asia Nutrition Survey (SEANUTS) kerja sama Royal Friesland ampina dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) di Tanjung Duren, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kekurangan gizi pada anak, kata Samuel, dapat menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak yang tidak optimal, anak menjadi kurus dan sangat pendek (stunting). Bila hal ini tidak segera diatasi, dalam jangka panjang akan mengakibatkan hilangnya potensi generasi muda yang cerdas dan berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak produktif dan tidak mampu bersaing di masa depan.

”Sementara, kelebihan gizi juga tidak baik bagi anak karena memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, hiperkolesterol, dan penyakit jantung,” ujar dia.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, jumlah penderita berat badan kurang di kalangan anak balita mencapai 17,9 persen yang terdiri atas 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Sementara itu, prevalensi kegemukan pada anak balita secara nasional berdasarkan indikator berat badan menurut tinggi badan mencapai 14 persen.

Dari data tersebut terlihat bahwa di saat masalah gizi buruk dan gizi kurang belum terselesaikan, prevalensi gizi lebih justru ikut meningkat bahkan hampir menyamai jumlah anak gizi kurang dan gizi buruk.

”Fenomena ini yang dinamakan beban ganda masalah gizi,” kata Samuel.

Dalam mengatasi masalah beban ganda, Samuel mengemukakan,dibutuhkan keterlibatan dari seluruh pihak, baik orangtua, pemerintah, maupun lembaga-lembaga swasta dan kesehatan publik. Dari sisi orangtua, dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pemberian makanan bergizi yang seimbang sejak bayi dan komposisi makanan seperti apa yang dibutuhkan oleh anak mereka.

”Perhatikan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh anak dan jangan hanya berpatok pada jumlah makanan yang dimakan. Selain itu, kuantitas makanan yang dikonsumsi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, hindari makanan dengan kandungan minyak, gula, dan garam yang terlalu tinggi, serta usahakan untuk memasak makanan sendiri di rumah karena kualitas makanan lebih terjamin dan dapat dikontrol,” ungkap dia.

Sementara itu, studi gizi SEANUTS yang dilakukan oleh Royal Friesland ampina–induk perusahaan Frisian Flag Indonesia–mencakup empat negara di wilayah Asia Tenggara, antara lain Indonesia bersama dengan PERSAGI (7.200 anak), Malaysia dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (3.300 anak), Thailand bersama Mahidol University (3.100 anak), dan Vietnam bersama National Institute of Nutrition (2.880 anak). (ftr)

Tags:

0 komentar to "Masalah Gizi Masih Menghantui Anak"

Leave a comment